Kamis, 08 Januari 2009

Pembangunan dan Pendidikan

Pembangunan dan Pendidikan

Yulhendri


Indonesia merupakan negara yang memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan awal lahirnya negara kesatuan Republik Indonesia, yang menyatukan wilayah dan masyarakat dalam sebuah negara yang besar. 62 tahun telah berlalu, sejak Hindia Belanda hingga abad globalisasi sekarang ini tetap saja dalam konstelasi ekonomi dunia Indonesia masih dikategorikan sebagai negara berkembang dan termasuk dalam kategori miskin. Hun (dalam Kompas,26 Januari 2008) mengemukakan musuh utama yang harus dilawan oleh negara-negara bekembang sekarang adalah kebodohan dan kemalasan, keduanya merupakan bibit utama dari kemiskinan. Sehingga keberhasilan mengurangi kebodohan dan kemiskinan ini merupakan kunci sukses meraih kemajuan dan kemakmuaran bangsa.

Kemiskinan dan rendahnya daya saing bangsa merupakan persoalan utama dari perekonomian Indonesia. Rendahnya produktivitas rumah tangga di Indonesia kuat dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, Soewardi (1999:76) mengemukakan bahwa kelemahan masyarakat Indonesia merupakan akibat dari budaya santai (soft culture) yang dicirikan sifat tidak adanya orientasi masa depan, tidak ada growth philosophy, cepat menyerah, berpaling dari akhirat dan lamban. Lebih lanjut Soewardi (1999:78) menemukan bahwa dikalangan rumah tangga yang berpenghasilan rendah dan tinggi ditemukan rendahnya karsa, rumah tangga berpendapatan tinggi bersifat KLK (kuda lepas kandang) dan rumah tangga berpenghasilan rendah MKT (mobil kurang tenaga). Kedua rumah tangga ini menambah penghasilannya bukan dengan pertumbuhan kuantitas produk dan jasa (growth) akan tetapi melalui perbesaran penghasilan Share” atau pangsa dalam pembagian pendapatan. Dalam pertarungan itu lapisan ataslah yang mendapatkan pembagiaan (share) yang lebih besar. Akibatnya kemudian lahirlah ketidakseimbangan pendapatan antara kelompok rumah tangga yang berpenghasilan tinggi dengan yang rendah. Fenomena ini bisa dilihat dari struktur kepemilikan assets produktif (distribusi fungsional). Struktur ekonomi nasional terjadi ketidakadilan, dimana kesenjangan kepemilikan assets-assets produktif, orang dalam jumlah sedikit yakni sebesar 0,01% dari jumlah penduduk memiliki 57% assets produktif namun orang dalam jumlah yang banyak yakni sebesar 99,9 % hanya memiliki 43 % assets produktif nasional (data diolah dari BPS :2002). Sehingga daya saing bangsa menjadi rendah.

Beberapa ahli menilai, pada dasarnya Indonesia memiliki peluang yang amat besar untuk menjadi negara makmur, besar dan bermartabat. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, beragam dan memiliki jumlah penduduk yang besar. Namun peluang itu paling tidak sampai awal tahun 2008 ini belum terbukti secara nyata. Penduduk Indonesia dalam catatan BPS masih terdapat 16,5% yang dikategorikan sebagai penduduk miskin dengan penghasilan rata-rata kurang dari 152.847/bulan. Dan pada saat yang sama dunia terus maju, globalisasi ekonomi telah berlangsung, Indonesia telah menjadi bagian dari ekonomi globalisasi tersebut.

Beberpa ahli meyakini, faktor manusia merupakan faktor yang utama dari keberhasilan pembangunan bangsa, dan perbaikan layanan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) itu merupakan kebijakan yang amat penting dilakukan, termasuk layanan pendidikan, kesehatan dan program lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM tersebut (Todaro,2003).

Manusia atau sumber daya manusia merupakan faktor yang aktif dalam pembangunan dan variabel yang amat penting dalam eksistensi bangsa. Beberapa indikator pembangunan manusia Indonesia masih dikategorikan sebagai negara miskin di dunia. Empat indikator pembangunan manusia menunjukkan : Rata-rata orang Indonesia memiliki harapan hidup pada umur 66,2 tahun, 88,4 % penduduk dewasa telah mampu membaca huruf latin, rata-rata orang bersekolah di Indonesia selama 6,7 tahun dan pengeluaran riil perkapita penduduk Rp 578.800, dengan angka ini Indonesia pada tahun 1999 memiliki HDI 64,3 dan di level dunia berada pada tingkat 117 dari 157 negara yang dihitung (Bappenas,2001).

Beberapa peneliti menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dan pembangunan ekonomi (Alhumami,kompas,2004). Schultz (1960,dalam Uharsputra,2007) menjelaskan peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui proses pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang penting bagi suatu rumah tangga dan bangsa. Kesadaran yang sama juga di utarakan oleh Stiglitz (2006) peraih hadil nobel ekonomi, mengenai pentingnya pendidikan untuk semua bagi warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar