Rabu, 07 Januari 2009

Mencapai Kesejahteraan “Itu....”

Kita bersama sejak dulu, hingga sekarang selalu belajar dan berusaha untuk mencapai tingkat kesejahteraan, dan kemakmuran. Kesejahteraan yang adil dan beradab merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Kalau kita mau jujur sebagian kesejahteraan itu telah kita raih, namun kadang-kadang kita belum puas juga dengan kondisi itu, karena kita membandingkan kesejahteraan itu dengan orang lain, negara lain dan negara maju.

Paling tidak dengan adanya sikap resah dan gelisah atas kondisi sekarang ini memberikan harapan kepada kita untuk bangkit di hari depan. Memang hingga hari ini, kalau kita bandingkan kesejahteraan itu dengan negara lain, khususnya tetangga kita Malaysia, Singapura, Thailand dan Australia di Selatan, terlihat jelas bahwa kita masih hidup dibawah standar kemanusiaan yang ada.

Di Kota-kota besar terlihat orang sebagian besar lalu lalang dan tidak bekerja dan hidup dengan udara yang kotor, tempat yang kotor dan kualitas kehidupan yang kurang menyenangkan. Dan di desa juga sebagian besar rakyat kita hidup dengan keterbatasan, tidak adanya air bersih, tidak adanya layanan kesehatan, terbatasnya akses pendidikan, terbatasnya sarana dan prasarana transportasi.

Lalu kemudian kalau kita perhatikan indikator pembangunan dunia, kita nampaknya masih dikategorikan sebagai negara miskin terlihat bahwa ukuran pembangunan pada tahun 2008, kita urutan 107 dari 177 dengan GDP perkapita $ 3.834. Apa yang menjadi persoalan terhadap perekonomian kita?, Pertanyaan ini merupakann pertanyaan mendasar, sebagian kita sudah bisa menjawab pertanyaan itu dengan sangat tepat namun barangkali kita perlu mencermati kondisi negara maju dan negara kita.

Kalau kita bandingkan dengan Australia, petani Australia rata-rata memiliki lahan perkeluarga 50 ha, sementara petani kita rata-rata 0,2 ha. Tingkat akumulasi modal manusia, rata-rata penduduk negara maju telah tamat SLTA sementara kita sebagian besar penduduk kita tidak tamat SD dan Tamat sekolah dasar.

Sehingga secara mendasar persoalan kita adalah distribusi kekayaan (assets) tidak terdistribusi dengan baik dan kualitas modal manusia kita masih rendah dibandingkan dengan negara maju. Kita patut bangga dengan pemimpin kita pada akhir tahun 1999, yang berhasil menghasilkan konstitusi yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan anggaran 20% untuk sektor pendidikan namun sayangnya kesadaran itu belum diikuti oleh kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran pendidikan yang 20% itu. Pengalokasian anggaran pendidikan 20% dari total Anggaran untuk sektor pendidikan dan pengembangna sumberdaya manusia penulis kira itu adalah arah pembangunan nasional yang tepat. Namun semua pihak harus konsisten dan harus sungguh-sungguh menjalankan program-program pendidikan tersebut.

Persoalan ekonomi kedua yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana distribusi kekayaan, khususnya kekayaan produktif terdistribusi dengan adil. Bicara soal re-distribusi assets, kadang kala diartikan oleh orang sebagai usaha untuk membagi kekayaan orang kaya kepada orang miskin dengan paksa. Sehingga timbul kekhawatiran tentang redistribusi asset sebagai bentuk pemaksaan orang miskin terhadap orang kaya.

Kalau kita mau belajar dengan negara maju, terlihat bahwa pemerintahnya memiliki keberpihakan kepada warga negaranya secara adil. Pelaku usaha besar diberikan kesempatan untuk maju dan berkembang namun juga usaha kecil diberikan juga kesempatan untuk hidup. Pelaku usaha besar tidak zolim kepada pelaku usaha kecil dan pelaku usaha kecil juga tidak sema-mena terhadap pelaku usaha besar.

Kalau kita, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pelaku usaha besar untuk memiliki kekayaan strategis bangsa dan juga pelaku usaha kecil diberikan kesempatan untuk zolim kepada pelaku usaha besar, sehingga pemerintah hampir tidak memiliki peran dalam mengatur permainan usaha tersebut.

Contoh, di Pasar, kita menemukan toko di zolimi oleh PKL (pedagang kaki lima) toko membayar sewa toko, pajak dan lain-lain sehingga harga sedikit lebih tinggi. Lalu kemudian di depan toko, tepatnya di trotoar jalan berdiri tenda PKL menjual barang yang sama dengan toko dengan harga yang lebih murah, karena PKL tidak membayar sewa dan pajak sehingga PKL akhirnya menzolimi pemilik toko. Di sisi lain, pemerintah memberikan izin pendirian mall dan plaza di pusat kota, dengan barang yang dijual sama dengan barang yang dijual oleh PKL berizin, dan pemilik toko di pasar Raya. Di mall atau di Plaza, kualitas barang lebih baik dan harga lebih murah sehingga konsumen cenderung berbelanja di Mall dan Plaza, sehingga kemudian para pedagang pasar dan PKL juga dizolimi oleh pedagang besar. Inilah proses perekonomian kita yang saling mematikan dan saling membunuh.

Termasuk juga di sektor perkebunan, kita memiliki hak ulayat (hak menguasai adat) atas sejumlah luas lahan yang dimiliki oleh rakyat nagari, namun rakyat tidak memiliki teknologi dan modal untuk mengusahakan pertanian dan perkebunan diatas lahan tersebut. Ketika petani mengajukan kredit ke-bank, pihak bank tidak berani untuk mengucurkan kredit karena tidak ada kepastian hukum atas tanah termasuk juga tidak adanya koleteral (jaminan) atas kredit tersebut.

Maka kemudian pemerintah memberikan solusi, agar masyarakat bermitra dengan pengusaha dengan pola plasma-inti. Inti perusahaan diberikan HGU (hak guna usaha) dan dengan HGU tersebut pengusaha menggadaikan tanah ulayat tersebut ke-bank. Sehingga kepemilikan hak ulayat berubah menjadi hak menguasai pribadi dalam bentuk HGU. Rakyat hanya mendapatkan hak 40% dari luas lahan yang dibuka. Jika luas lahan yang tersedia 10.000 hektar maka petani kita hanya mendapatkan 4.000 hektarnya sementara pengusaha 6.000 hektar. Pertanyaanya kenapa pola ini yang menjadi solusi bagi pemerintah?,apakah tidak lebih baik, pemerintah memfasilitasi sertifikat bersama bagi petani, lalu kemudian semua potensi lahan dikelola oleh petani (masyarakat) dan pengusaha bermain disektor industri atau hilir dari kegiatan pertanian tersebut. Dan pemerintah berperan dalam transformasi pengetahuan dan teknologi kepada petani.

Pola inilah yang kemudian memberikan distribusi assets produktif nasional menjadi tidak adil, karena pengambil kebijakan kita lebih sayang kepada pemilik modal dibandingkan dengan rakyat banyak. Ini menjadi persoalan dan menjadi lingkaran setan kemiskinan di Indonesia, sedikit orang tapi memiliki assets produktif yang banyak, bisa berbuat apa saja di negeri ini, dan banyak orang namun memiliki assets sedikit dan memiliki kekuatan ekonomi. Kelompok kecil akan lebih berdaya dibandingkan dengan kelompok besar maka disinilah kesenjangan ekonomi terjadi.

Di beberapa negara maju, usaha-usaha untuk mendistribusikan kekayaan telah mulai dilakukan. Umpanya dalam kasus pedagang tadi, pelaku pedagang besar dibatasi dengan jam buka, toko tertentu hanya boleh buka sampai sampai jam 05 sore sementara itu pedagang kecil boleh buka 24 jam. Jumlah pelaku usaha pada area tertentu dibatasi dengan maksud agar pengusaha mendapatkan margin atau untung dalam berusaha sehingga pasar tidak cepat jenuh. Di kita pelaku usaha dapat masuk dan keluar dengan leluasa tanpa ada hambatan regulasi pemerintah sebagai praktek dari pasar bebas.

Mengutip pernyataan Dr. Syafruddin Karimi, dalam sebuah diskusi di DPRD Sumatera Barat tahun 2003, dalam pembahasan AKU Sumbar. Beliau menyampaikan bahwa tidak mungkin ekonomi kerakyatan itu bangkit kalau tidak dengan re-distribusi assets. Pada waktu itu penulis tidak begitu paham dan memahami maksud dari statemen. Barangkali termasuk juga para pengambil kebijakan. Pernyataan itulah kemudian yang membangkitkan semangat penulis untuk belajar dengan beliau. Namun setelah membaca, dan berdiskusi secara lebih mendalam serta merenungi dan melihat fakta emperis di beberapa negara akhirnya penulis baru paham, bahwa benar, ternyata ketika pemerintah atau calon pemimpin mengucapkan slogan ekonomi kerakyatan namun ketika re-distribusi assets tidak dilakukan maka ekonomi rakyat tidak akan berdaya dan kesejahteraan tidak akan tercapai.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana melakukan re-distribusi assets secara lebih familiar dan lebih santun dilakukan. Penulis menawarkan beberapa langkah implikasi kebijakan :

Pertama, meneruskan kebijakan tarif pajak progresif, dimana orang atau badan yang memiliki penghasilan yang tinggi dikenakan pajak yang lebih tinggi, termasuk juga orang atau badan yang akan membeli produk barang mewah.

Kedua, menggunakan pajak atau APBN/APBD untuk infrastruktur, riset, dan pengembangan sumberdaya manusia keluarga miskin lebih besar dari anggaran untuk rutin dan gaji pegawai.

Ketiga, malakukan Land reform secara konsisten, dimana tanah bekas erpach Belanda yang sekarang dikuasi oleh BUMN (PT PN), pihak swasta di kembalikan pemilikan dan pemanfaatannya bagi rakyat banyak secara adil, sehingga mempertinggi pemilikan rata-rata luas lahan petani, meningkatkan produktivitas petani, memotong lingkaran kemiskinan rakyat. Dan juga meningkatkan keamanan pangan (food security) Dan kemudian diiringi dengan kebijakan kredit bagi kelompok tani sehingga tercapai kesejahteraan. Mudah-mudahan pikiran sederhana ini bisa diaplikasikan dalam bentuk kebijakan sehingga cita-cita bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur bisa tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar