Kemiskinan merupakan persoalan yang rumit, pada kondisi miskin, seseorang merasa resah dan gelisah. Para guru-guru menjelaskan kemiskinan itu dicirikan dengan orang yang tidak memiliki penghasilan tetap, hidup dijalanan, hidup ditepi pantai, hidup dibawa kolong jembatan, hidup di hutan, hidup di rumah kumuh di tepi-tepi sungai, dibawah kolong jembatan tol yang megah. Orang miskin identik dengan orang yang tidak bersekolah, memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan kebanyakan tidak tamat Sekolah Dasar, mengkonsumsi makanan kurang dari 2000 kalori perhari. Guru kita juga mengajarkan Negara miskin itu ciri-cirinya adalah Negara yang memiliki penduduk banyak yang tidak makan (kelaparan), terjerat oleh hutang luar negeri yang tinggi, penduduk banyak, produktivitas nasional rendah, pemerintahan, lembaga sosial politik dan bisnis korup, masyarakatnya selalu membudayakan hidup dalam budaya konsumerisme, produktivitas rendah, kemampuan masyarakat untuk menabung hampir tidak ada, sehingga akumulasi modal rendah akibatnya investasi rakyat tidak ada, pada akhirnya memberikan dampak pada terbatasnya kesempatan kerja.
Pemerintahan di negara-negara miskin termasuk Indonesia telah berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi kemiskinan ini namun hasilnya juga belum menunjukkan hasil sebanding dengan kemajuan Negara lain seperti Malaysia, Korea Selatan atau China. Kenapa ini terjadi..? Secara teoritis jawabannya barangkali bisa dijawab dengan berbagai argumentasi, secara mendasar sesungguhnya keseriusan kita menentukan keberhasilan program-program tersebut, dan kita bisa dikategorikan termasuk bangsa yang kurang serius dan tidak konsisten menjalankan program-program pengentasan kemiskinan. Orang-orang bijak mengungkapkan sebuah sistem kalau dijalankan secara konsisten akan menampakkan hasil namun jika tidak dilaksanakan secara konsisten maka hasilnya juga tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Namun kebiasaan sistem pengelolaan Negara kita justru banyak yang tidak konsisten, setiap pergantian pimpinan puncak maka selalu diiringi dengan perubahan sistem dan cenderung tidak konsisten seperti yang yang terjadi dalam pengelolaan pendidikan, ekonomi dan prioritas pembangunan sehingga banyak pekerjaan yang terbengkalai dan tidak memberikan kemanfaatan yang berarti termasuk soal penanggulangan kemiskinan.
Penanggulangan jumlah orang miskin sejak orde lama, baru dan orde sekarang nampaknya tidak mengalami perubahan. Pada masa orde baru penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan program inpres desa tertinggal dalam bentuk bantuan dana tunai kepada masyarakat untuk berusaha, hasilnya tentu saja ada namun tidak sebanding dengan pengeluaran dana yang telah dikeluarkan. Program tersebut memberikan kenikmatan sesaat pada sekelompok orang-orang yang dekat dengan kekuasaan hari itu. Namun ibarat orang haus ketika diberikan segelas air, hausnya lepas pada saat itu namun beberapa waktu kemudian haus datang lagi..namun air sudah habis. Pada masa orde reformasi program pengentasan kemiskinan dilakukan dengan berbagai usaha salah satunya adalah program KUT (kredit usaha tani) Program itu diklaim oleh mantan menterinya waktu itu telah berhasil meningkatkan produksi padi nasional. Dalam aspek pengembalian kredit tani tersebut nampakna masih rendah. Hasil penelitian dari lembaga independen tahun 2004 menunjukkan tingkat pengembalian kredit KUT paling tinggi hanya 13 % ke –bank pelaksana. Orde pasca Reformasi (saat ini) penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan usaha bantuan tunai langsung subsidi BBM, operasi pasar, layanan kesehatan (Askeskin) dan lain-lain. Hasilnya sebagian masyarakat telah mendapatkan tunjangan tunai langsung dengan sejumlah rupiah. Namun disisi lain ada kasus kepala desa atau jorong yang tewas karena tidak tepat waktu membagikan bantuan tunai langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar